Sri Maharaja Ke-VII Kesultanan Serdang : Mafia Tanah Lebih Keji dari Belanda
Tanggapan T. Hermansyah, AMP Sri Maharaja Ke-VII Raja Ramunia Kesultanan Serdang tentang penyerobotan lahan oleh mafia tanah yang makin sering terjadi.
Penyerobotan lahan sudah lama terjadi dari sejak zaman dahulu. Bahkan bagaikan sebuah tradisi yang sampai saat ini terjadi turun menurun.
Tapi jika dibandingkan dengan saat ini bagi oknum maupun kelompok orang yang merampas lahan-lahan para Raja/Kerajaan maupun tanah para Datok/Kedatokan, walau terasa sakit bahkan sampai diperjuangkan dengan tumpahan darah ternyata masih lebih baik lagi Belanda pada masa lalu.
Pada saat Belanda hendak merebut lahan wilayah, tidak se bar-bar saat ini. Dan pada masa itu Para Raja maupun Datok tidak segampang itu menyerahkan tanah wilayahnya. Demi untuk melindungi rakyatnya dari tekanan Belanda, Para bangsawanpun rela bertarung nyawa dengan Belanda.
Walaupun akhirnya kalah juga, tetapi Belanda hanya bisa mendapatkan tanah sejumlah luas wilayah hanya berbentuk hak pinjam pakai saja yang ditentukan waktunya (Konsesi) dan masih mengakui bahwa lahan tersebut milik para Raja/Kerajaan maupun milik para Datok/Kedatokan.
Tetapi saat ini, lahan-lahan yang milik Raja maupun Datok banyak yang diserobot orang lain (bukan ahli waris) bahkan diperjual belikan dengan mengakuinya bahwa lahan tersebut miliknya ataupun milik leluhurnya. Pertanyaannya… siapa leluhurnya? Malah ada yang mengatakan bahwa
“saat ini bukan zaman kerajaan maupun kesultanan, sekarang zaman Republik, tidak berlaku itu surat Grand” dengan lantangnya dia bicara.
Jiwa dan sifat Pengkhianat Sudah Ada Dari Zaman Dulu
Memang dari dulu Sifat serakah dan haus akan kekuasaan sehingga melupakan akan kebenaran dan hanya kebenaran berdasarkan pemikiran dia saja, inilah sifat-sifat yang dimiliki jiwa pengkhianat dan sampai saat ini masih ada terjadi juga.
Hancurnya sebuah kerajaan, kesultanan pada masa itu dikarenakan adanya pengkhianat yang lahir dari internal sendiri. Padahal dizaman Kerajaan dulu, siapa saja yang ingin menjadi Rakyat kerajaan tersebut harus permisi sama Raja dengan segala sistemnya lalu diberi Lahan untuk bercocok tanam dan tempat tinggal yang sifatnya menumpang dan bekerja diatas lahan Raja tersebut. Dan hasil bercocok tanam akan diserahkan ke Raja dan itupun upah kerjanya di kasi juga oleh Raja.
Pada masa itu lahan sangat luas sedangkan penduduknya masih sedikit (Lebih banyak hutan dibandingkan manusia dan perumahan). Jadi para Raja inilah memperkerjakan rakyatnya untuk membuka lahan dan bukan Kerja paksa, tetap dikasi upah kerja dan tempat tinggal. Makanya pada masa itu yang mempunyai lahan atau tanah adalah para Raja maupun Para Datok.
Tak Tau Diri dan Tak Tau Berterima Kasih
Kalau sekarang ini ada yang mengaku bahwa lahannya milik atoknya, kakeknya, oyangnya maupun leluhurnya . Pertanyaannya siapa leluhur atau oyangnya itu? Mungkin memang benar atoknya, kakeknya, oyangnya ataupun leluhurnya memang bercocok tanam dan tinggal dilahan tersebut. Pertanyaannya, Lahan siapa yang di cocok tanam dan ditempatinya serta apa dasar atoknya, kakeknya, oyangnya maupun leluhurnya bisa bercocok tanam maupun tinggal di lahan tersebut?
Sudahlah dulu atoknya, kakeknya, oyangnya maupun leluhurnya minta perlindungan dari Para Raja maupun Para Datok yang dilindungi dengan tumpah darah Para Raja dan para Bangsawan, sekarang para cicit-cicitnya mengaku kalau itu lahan tanah miliknya atas dasar pengakuan bercocok tanam dan uri-uri atoknya, kakeknya, oyangnya maupun leluhur ditanam di lahan tersebut.
“Jangankan uri-uri, makam leluhur sayapun ada di dikebumikan didaerah lahan tersebut dan juga dikeramatkan oleh masyarakat juga pada masa itu dan sampai saat ini dikarenakan leluhur saya ataupun oyang saya seorang Raja yang juga Taat Beribadah. Karena pada masa itu hukum yang dipakai berdasarkan syariat islam. Jadi seorang Raja harus memberi contoh kepada rakyatnya kalau dirinya memang layak sebagai Kepala Urusan Adat dan Kepala Urusan Agama, Memang tak tau diri dan tak tau berterima kasih” Tegas T. Hermansyah, AMP.
“Tapi jika dilihat tingkah orang yang saat ini bahwa lahan tersebut diakuinya sebagai miliknya bahkan lebih heran lagi dikatakannya pula bahwa lahan tersebut adalah tanah adat. Jika namanya tanah adat berarti tanah Raja, sebab Kepala adat itu ya.. Para Raja dan juga Para Datok dan yang punya surat lahan/tanah juga Para Raja dan Datok” Tegas T. Hermansyah, AMP
Memang sangat menyakitkan, sudah banyak para Raja dan juga Para bangsawan yang gugur demi melindungi rakyatnya pada masa itu. Tapi dizaman ini, itupuntak dihargai.
Masalah Perampasan Tanah, Masih Lebih Baik Cara Belanda
Khusus di daerah Kesultanan Serdang, Belanda tidak pernah mengatakan lahan yang dikuasainya adalah miliknya, tetap diakuinya milik Para Raja maupun Para Datok berdasarkan konsesi dan tetap memberi bagian hasil bumi yang dia raih dari Lahan Raja untuk dibagikan kepada Kerajaan.
Tapi saat ini ada banyak sekali orang yang mengaku bahwa lahan tersebut miliknya tanpa ada bukti jual beli maupun bentuk tertulis lainnya dari Para Raja maupun Para Datok. Hanya dengan alasan bahwa saat ini bukan zaman kerajaan ataupun kesultanan. Apalagi kalau mau membagi hasil bumi dari lahan tersebut. Sudah jauh api dari panggang, mengakui saja tak mau apalagi membagikannya.
Jadi boleh dikatakan saat ini perbuatan perampasan/penyerobotan lahan / tanah lebih kejam dari Belanda yang masih menggunakan perjanjian.
Perlu juga di tegaskan, Republik Indonesia ini berdiri ukuran wilayahnya diambil berdasarkan dari lebar lahan wilayah milik Para Kerajaan. Sebab sebelum NKRI berdiri di Nusantara ini, banyak berdiri Kerajaan-kerajaan dari berbagai suku dengan wilayah teritorialnya.
Dan Belandapun saat itu jika membuat perjanjian pasti dengan Para Raja ataupun Para Datok dan bukan kepada Rakyat Jelata.
Memang terasa sakit hati ini, banyak orang mengaku bahwa lahan tersebut adalah tanah adat. Tetapi para Raja maupun Datok tidak diikut sertakan, malah dianggap tak ada. Berarti Saya dan Para Oyang saya (leluhur) dianggapnya tidak beradat. Hanya rakyat jelata saja yang beradat. Padahal Dulunya Kepala adatnya adalah leluhur saya yang Para Raja masa itu yang melindungi dan memberi kehidupan bagi leluhurnya ataupun oyangnya Para Rakyat Jelata tersebut.
Untuk sebagai bahan renungan, Untuk Kerajaan-kerajaan Kesultanan Serdang, pernah tunduk dan sebagai wajir dari Kesultanan Aceh, Kesultanan Siak dan Kerajaan Belanda. Tetapi tetap saja sistem pemerintahan Kesultanan di Serdang masih diakui oleh Kesultanan Aceh, Kesultanan Siak dan Belanda walau sebagian wilayahnya dalam pengelolaan Belanda (konsesi). Tapi tidak serta merta musnah, hanya saja wewenangnya yang berkurang.
Tapi saat ini dimasa Republik, wewenang Raja dan Datok sama sekali tak ada, lahannyapun banyak yang diserobot, di garap, diperjual belikan tanpa menghargai para ahli waris kerjaan tersebut. ditambah lagi ada oknum pengkhianat di internal. Cukup pelik dan susah untuk diperbaiki.
Tanah Makampun di perjual belikan
Jangankan lahan sawah maupun berbentuk kebun ataupun Hutan, lahan perkuburan leluhur saya saja sanggup diperjual belikan orang. Dan bahkan sampai saat ini ada pula yang mengaku sudah mengelolanya. Padahal surat tanah tersebut masih saya miliki dan bahkan Pajak Bumi dan Bangunannya (PBB) masih saya bayar. Dan anehnya yang mengelola tersebut bukan ahli waris pula.
Seperti halnya yang terjadi di lahan Pemakaman di Desa Tengah Kec. Pantai Labuh tempat leluhur saya serta kerabat lainnya di kebumikan. Lahan tersebut ditanami oknum dengan Pohon sawit, atas izin siapa dan malah dibeli olehnya . Begitu juga lahan perkeburan tersebut di korek di jadikan kolam ikan dan ini informasi yang didapat dari penjaga makam ( Bapak Jemmy orang yang dipercayakan T. Hermansyah) bahwa pemilik kolam tersebut lain juga orangnya dengan yang menanam sawit.
Padahal baik kolam maupun lokasi sawit yang ditanam diatas lahan tersebut merupakan lahan perkuburan massal sampai kebelakang, sedangkan makam yang saya pagari tersebut adalah makam Tuanku Alaidin Raja Ramunia Ke-III. Makanya sewaktu dikorek lahan tersebut menjadi kolam banyak terdapat tulang belulang orang, karena memang dikarenakan areal tersebut adalah lokasi pemakaman yang berdekatan dengan Istana Tanjung Putri , tempat Tuanku Sampali Tinggal (Ibunda T.Umar Johan Alamsyah/Raja Serdang Ke-I)
Makanya ada paluh (Aliran sungai kecil) dibelakangnya lahan tersebut dinamai paluh tengkorak dan sebelahnya Paluh Putri. Dan saat ini kekhawatiran saya sudah muncul lagi kalau situs yang pernah saya lihat dan berbentuk batu zaman dahulu di Paluh Putri, apakah masih ada atau tidak. Sebab Batu Nisan yang ada di pemakaman Tuanku Alaidin saja sudah diganti orang yang tak bertanggung jawab. Dimana saya sempat melihat batu nisannya yang dulu berwarna putih tetapi sekarang ini sudah berganti batu koral biasa saja.
Untuk itu, maka saya mempercayakan orang untuk mengurus makam tersebut beserta lahan sekitarnya dengan membekalinya Surat Tugas dan copy surat tanah dan juga PBB. Karena saya menilai bahwa aparat Desa tidak tanggap dan perduli dengan situs yang ada di desanya. Mungkin dikarenakan situs tersebut dan juga makamnya bukan leluhur dia. Atau memang ada unsur sengaja ingin dihilangkangkan atau dikaburkan agar para oknum nakal/mafia bisa menerbitkan surat versinya sendiri diatas lahan tersebut.
Membongkar oknum nakal/mafia tanahnya
jika terus begini ingin juga mengungkap pelaku mafia tanah yang bermain diatas lahan oyang saya yang saat ini suratnya masih saya pegang. Bila perlu diambil jalur hukum agar terbongkar semuanya. Darimana asal oknum nakal/mafia tersebut bisa memiliki lahan tersebut dan dari siapa.
Ini harus diungkap kebenarannya, apakah ada keterlibatan warga yang ada di atas surat tanah/lahan, oknum nakal disekitar lahan tersebut atau ada oknum Pemerintahan yang terlibat juga. Baik Pemerintahan Desa, Pemerintahan Kecamatan maupun Pemerintahan Kabupaten dan seterusnya. Semuanya harus diungkap agar terang benderang. Untuk itu, kerja sama dengan aparat hukum sangat diharapkan.