Plakkk!!! Sebut Miras Sebagai Budaya, Denny Siregar Dimaki Warga Papua, "Goblok!!! Binatang!!!"
Denny Siregar sekali lagi membuktikan bahwa buzzer pemerintah miskin literasi. Di sebuah postingan, Denny menyebut miras sebagai budaya di Bali, NTT, Papua dan Sulut.
"Daerah yang boleh investasi miras cuma Bali, NTT, Papua dan Sulut doang. Disana miras itu budaya, drpd dilarang2 sekalian jadikan pendapatan. Kalo misalnya Aceh ma Sumbar juga dibolehkan meski disana gada budaya minum miras, bolehlah ente caci maki," tulis Denny Siregar di akun medsosnya, Minggu (28/2).
Kedunguan dan keluguan Denny mendapat tamparan keras dari warganet Papua.
"Siapa yg bilang budaya?? Goblok.. binatang !!!," balas akun JayaPura Update disertai tagar #PapuaTolakInvestasiMiras.
Bukan hanya mendapat protes dari Papua, warganet asal Sulut bahkan menganjurkan agar Denny di tangkap dan diadili karena sudah merendahkan martabat warga Sulut.
"Darah sy 100 % minahasa ( suku di sulut ). Iman katolik. Miras bukan budaya di sulut. Itu fitnah. Itu offside. Desi sudah merendahkan harga diri dan martabat individu, golongan di sulut. Tangkap dan adili di pengadilan !!!," sambung @ErickConstant.
"Tak ada agama satupun yg menghalalkan miras," tambah akun Haludaily.
"Nah kan, apa gw kata. Ga akan ada daerah yg mau dikatai punya budaya mabok miras. Itu buktinya kalo yg bilang miras itu kearifan lokal, cuma asal mangap alias NGAWUR," sindir @RizaAnshari.
"Pertama kali saya ke papua 18 tahun lalu, bertemu dengan seorang dewan adat papua. Beliau berkata, budaya kami adalah kejujuran, ada barang jatuh di jalan tidak ada orang yang berani ambil. Tapi semua berubah ketika kapal putih masuk dan mereka bawa alkohol," jelas Andika.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberi tanggapan kekecewaan mengenai pemerintah yang menetapkan industri minuman keras yang sebelumnya masuk ke dalam kategori bidang usaha tertutup, namun sekarang dimasukkan ke dalam kategori usaha terbuka. Wakil ketua umum MUI Anwar Abbas mengatakan, hal ini tentu terjadi karena pemerintah melihat industri ini sebagai salah satu industri yang masuk ke dalam daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini.
“Jadi saya melihat inilah salah satu buah dari disahkannya Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang jelas-jelas tampak lebih mengedepankan pertimbangan dan kepentingan pengusaha dari pada kepentingan rakyat,” ujarnya dalam keterangan, Minggu (28/2).
Ia memandang, seharusnya pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pelindung rakyat, tidak akan memberi izin bagi usaha-usaha yang akan merugikan dan merusak. “Tapi di situlah anehnya, dimana pemerintah malah membuat kebijakan yang menentang dan bertentangan dengan tugas dan fungsinya tersebut,” tuturnya.
Menurutnya, kebijakan ini menunjukkan bahwa manusia dan bangsa ini telah dilihat dan diposisikan oleh pemerintah dan dunia usaha sebagai objek yang bisa dieksploitasi bagi kepentingan mendapatkan keuntungan atau profit yang sebesar-besarnya.
“Bagi kepentingan pemerintah dan dunia usaha bukannya pembangunan dan dunia usaha itu yang harus dilihat sebagai medium untuk menciptakan sebesar-besar kebaikan dan kemaslahatan serta kesejahteraan bagi rakyat dan masyarakat luas,” ucapnya.
Menurutnya, kebijakan ini menunjukkan bangsa ini telah kehilangan arah karena tidak lagi jelas apa yang menjadi pegangan bagi pemerintah dalam mengelola negara ini. “Di mulutnya mereka masih bicara dan berteriak-teriak tentang Pancasila dan UUD 1945, tapi dalam praktiknya yang mereka terapkan adalah sistem ekonomi liberalisme kapitalisme yang bukan merupakan karakter dan jati diri kita sebagai bangsa,” pungkasnya. (wb)