Tokoh Turki Sindir Indonesia Takut Bela Uyghur Demi Jadi Budak China
Tokoh asal Turki yang juga seorang penulis terkemuka di Cato Institute yang berfokus pada Islam dan modernitas, Mustafa Akyol, mengatakan posisi Malaysia menandai langkah awal negara-negara mayoritas Muslim untuk melindungi orang Uighur dari murka China.
Ia juga menyindir Indonesia sebagai nehara muslim terbesar di dunia, yang tak mampu berbuat apa-apa untuk melindungi muslim Uyghur.
“Sementara penganiayaan terhadap Uighur di China telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemimpin Muslim melihat ke arah lain, karena persahabatan dengan China menguntungkan,” kata Akyol.
“Pesan Beijing bahwa negara-negara luar tidak boleh ikut campur dalam urusan dalam negeri satu sama lain, bahkan jika itu termasuk pelanggaran hak asasi manusia, kemungkinan beresonansi dengan para pemimpin,” tambahnya.
Zachary Abuza, seorang profesor studi Asia Tenggara di National War College di Washington, bahkan lebih pedas mengkritik Indonesia.
Ia mengatakan Malaysia telah lama menjadi simpul penting dalam jalur kereta bawah tanah bagi warga Uighur yang ingin melarikan diri ke Turki, dan bahwa negara tersebut telah menolak tekanan dari China tentang masalah ini selama bertahun-tahun.
“Sementara Beijing masih menekan Putrajaya (pusat administrasi Malaysia yang menggantikan posisi Kuala Lumpur) tentang masalah ini, mereka mungkin memahami bahwa mengingat sensitivitas politiknya, ini bukanlah masalah di mana Malaysia akan menyerah,” kata Abuza.
Di Indonesia, negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia yang dikunjungi Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada bulan Oktober lalu, tepat setelah deportasi dari tiga orang Uighur.
“Bahwa pemerintah Indonesia menyerah begitu cepat sungguh mengejutkan,” kata Abuza dari National War College.
“Ya, China adalah mitra dagang terbesar Indonesia, tapi saya tidak bisa melihat Beijing membalas atau memboikot bahan mentah Indonesia, yang sangat dibutuhkannya, seandainya Jakarta tidak mengembalikan ketiga lelaki Uighur itu,” lanjutnya.
“Tidak ada orang Uighur di Indonesia saat ini,” kata Deka Anwar, analis riset Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Ben Bland, direktur Program Asia Tenggara di Institut Lowy di Australia, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia enggan melakukan penganiayaan terhadap orang Uighur, karena memiliki masalah separatis sendiri dan tidak ingin menjadi preseden campur tangan asing dalam urusan dalam negeri negara lain.
“China telah menjadi sumber investasi dan perdagangan yang semakin penting bagi Indonesia, serta menjadi mitra kunci dalam pengembangan kemungkinan Covid-19 vaksin,” kata Bland.
“Itu pasti memberikan pengaruh kepada China dan membuat pemerintah Indonesia enggan melakukan apa pun yang akan membuat marah Beijing tetapi hanya membawa sedikit manfaat langsung bagi Indonesia,” katanya. (rmol)